Rabu, 11 Mei 2016

Indahnya Tradisi Megengan


Dibulan Sya'ban, selain kupatan di malam nisfu sya'ban, ada juga tradisi “Megengan” merupakan tradisi budaya turun temurun yang masih di pelihara dengan baik dan terus dilestarikan  oleh masyarakat Jawa sebagai  suatu bentuk implementasi / ucapan syukur  atas nikmat rizqi yang diterima kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana para walisongo mengajarkan Islam melalui simbol-simbol tradisi budaya masyarakat, tapi sangat disesalkan jika pelajaran yang diambil oleh masyarakat Islam hanyalah simbolnya belaka, padahal harusnya masyarakat Islam mampu memaknai  tidak hanya simbolnya saja  tetapi juga substansinya , karena  sesungguhnya ada pesan moral yang sangat mendasar  yang terkandung dalam simbol tersebut, salah satu contohnya  Tradisi “Megengan”.
     Tradisi “Megengan”  ini dipekenalkan pada saat penyebaran agama Islam di Jawa (terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan) oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana  kita ketahui,  Sunan Kalijaga berdakwah pada masyarakat Jawa dengan metode akulturasi budaya. Kanjeng Sunan menggunakan metode pendekatan psikologi budaya kepada masyarakat Jawa  sehingga menghapus pembatas yang dapat menganggu syiar Islam. Masyarakat Jawa memiliki ikatan tradisi budaya yang sangat kuat dan terjaganya rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, sesepuh masyarakat, pemuka masyarakat terutama agama, namun akan sangat sulit bagi mereka  apabila diharuskan meninggalkan budaya yang telah lama mengikat diri mereka  secara turun temurun dengan sebuah aturan-aturan baru ( ajaran Islam).
     Tradisi megengan biasanya berlangsung seminggu sebelum Puasa. Tradisi ini dilaksanakan dengan cara mengirim makanan kepada keluarga dan tetangga. Jenis makanannya bisa beraneka ragam seperti : Nasi tumpeng, iwak ingkung, keper, thontho, gereh pethek, tempe, ketan, kolak, atau  apem. Tradisi megengan ini ternyata tidak hanya menjaga hubungan sosial tetapi juga turut memutar roda perekonomian. Kebutuhan masyarakat akan bahan makanan untuk “Megengan” ini, mengharuskan mereka untuk berbelanja ke pasar.
Kata Megengan berasal dari bahasa Jawa “ Megeng” yang berarti Ngeker atau Menahan, Misalnya dalam ungkapan megeng nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan sebagainya. Dari kata “Megeng” Menjadi kata “Megengan” , dengan ditambah akhiran “-an” mengandung arti Suatu Proses Kontinuitas (terus – menerus) dan juga pembentukan kata benda. Dikaitkan dengan konteks Ramadahan, kata “Megeng” selaras dengan kata Shaum yakni Puasa, yang  berarti menahan.
     Secara Fiqih, Shaum atau Puasa diartikan sebagai Proses Menahan (megeng atau ngeker) diri atau hawa nafsu dari yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan hal – hal yang membangkitkan Syahwat, serta hal – hal yang dapat membatalkannya. Maka secara Simbolik, Tradisi Megengan merupakan acara pembekalan untuk berpuasa serta sebagai tanda atau symbol  bahwa manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum, dan hal – hal yang membangkitkan Syahwat, serta hal – hal yang dapat membatalkannya. Dalam kegiatan tersebut, juga dimaksudkan untuk berdo’a memohon pertolongan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, agar diberikan kekuatan untuk melakukan Ibadah puasa, karena tanpa pertolonganNya, puasa dirasakan sebagai sesuatu yang amat berat.
     Puasa tidak hanya menahan diri dari yang membatalkannya secara dhahir saja, yakni makan dan minum, melainkan juga hal – hal yang bathiniah. Puasa tidak hanya menahan hal – hal yang membatalkannya saja, tetapi juga menahan kebiasaan – kebiasaan buruk setiap hari yang bersifat bathiniah dan ukhrowiyyah. Puasa lebih bersifat latihan rasa yang mencakup dimensi bathiniah, tidak heran dalam ungkapan jawa ada yang mengatakan Poso berarti ngempet roso, ada juga yang mengartikan ngeposke roso mempunyai makna memberhentikan rasa. Inilah yang harusnya tersampaikan dalam Tradisi “Megengan” tersebut.
     Ada lagi simbol yang khas dalam tradisi ini, yaitu Kue Apem. Boleh diterima, boleh menolaknya , karena memang ini hanyalah tradisi. Sebelum puasa ada anjuran untuk kaum muslimin agar saling memaafkan  sesamanya, sehingga puasanya bisa tenang dan berkah karena telah tak ada lagi ganjalan  dari rasa bersalah dan berdosa kepada orang lain. Karena dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa “ Rasulullah Muhammad SAW mengamini tiga doa yang diberikan oleh malaikat Jibril. Yang pertama: Ya Allah, janganlah Engkau terima puasanya seorang anak yang durhaka pada orang tuanya; Yang kedua: Ya Allah janganlah Engkau terima puasanya seorang istri yang dholim kepada suaminya; Yang ketiga: Ya Allah janganlah Engkau terima puasanya seseorang yang jahat kepada tetangganya.”
     Dalam bahasa arab, Kata “Afwun” bermakna ampunan, maaf atau memaafkan. Maksudnya adalah kita diingatkan pada bulan Sya’ban menjelang bulan Ramadhan, agar kita saling memaafkan dan meminta ampunan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aala, sehingga kita bisa menjalankan Ibadah puasa dengan tenang. Dan dikarenakan dalam Bahasa Jawa tidak mengenal huruf “F”, Maka kata “Afwun” berubah “Apwun” , kemudian Apwum, lalu Apwem, dan akhirnya Apem, dan insyaAllah, inilah yang  menginspirasi adanya kue apem dalam megengan.
     Dilihat dari bahan dasarnya, kue apem melambangkan kebersihan dan kesucian. Beras putih, berwarna putih melambangkan kesucian. Santan merupakan sari buah kelapa yang bermanfaat semua bagiannya adalah melambangkan sari atau ketulusan manusia, bahkan ada juga yang mengartikan “Santen” sebagai akronim dari kata jawa”Sagetho Nyuwun Pengapunten”.. Gula dan garam melambangkan perasaan hati. Daun yang dibentuk kerucut melambangkan pengerucutan semua pada satu titik, Yakni Allah Subhaanahu Wa Ta’aala. Maka bila bahan – bahan tersebut dijadikan satu, Makna Simbolisnya adalah Kesucian dan ketulusan perasaan hati manusia yang ikhlas karena Allah semata

Sungguh indah ungkapan rasa syukur nikmat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat rizqi yang dikaruniakan kepada hambaNya , yang telah dicontohkan dengan tradisi budaya secara turun temurun oleh para leluhur kita.
MARHABAN YA RAMADHAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar